Pasang Surut Topeng Dalang Madura

Regenerasi dalam berkesenian untuk mempertahankan tradisi sering kali terbentur dengan pengaruh zaman yang mendialektikakan cara berpikir dan berbuat antargenerasi. Uning-uningan Harmonisasi Hidup Batak Toba menjadi kesenian istana. Di dalam lingkungan istana, ragam hias topeng yang sebelumnya sederhana dimodifikasi kembali semakin diperhalus dan diperindah bentuk topengnya, seni karawitannya, seni pedalangan sekaligus pementasannya. Karena itu, masa tersebut merupakan masa berkembang suburnya keseni an dan sastra Madura. Setelah kerajaan-kerajaan mulai hilang dari bumi Madura sekitar akhir abad ke-19, kesenian topeng dalang sempat ikut tenggelam pula. Hal itu disebabkan kendala waktu peralihan kembali dari istana ke daerah pinggiran. Namun di abad ke-20 topeng dalang kembali menjadi kesenian rakyat yang mencapai puncak kesuburannya hingga 1960. Kenyataan itu dapat dilihat dari kian maraknya grup kesenian, banyaknya dalang, dan kian bertambahnya orang yang jadi perajin topeng di berbagai pelosok. Pada 1970-an topeng dalang kembali bangkit. Kebangkitan itu tidak terlepas dari jasa dalang tua R Sabidin (dari Sumenep) yang tetap bertahan dalam menggeluti topeng dalang sekaligus mendidik kader-kader muda yang berasal dari beberapa daerah di wilayah Sumenep dan Pamekasan. Kerja keras dalang R Sabidin membuahkan hasil. Di era tahun 80-an hingga 90- an inilah, topeng dalang Madura (diwakili dari Sumenep dan Pamekasan) melanglang buana ke belahan Benua Amerika, Asia, dan Eropa. Kota-kota besar dunia yang disinggahi pada waktu itu adalah London, Amsterdam, Belgia, Prancis, Jepang, dan New TOPENG dalang diakui sebagai bentuk ke senian teater tertua ma syarakat tradisional Madura yang paling kompleks dan utuh. Hal tersebut disebabkan dalam kesenian topeng dalang, selain terkandung unsur cerita, tari, musik, pedalangan dan unsur kerajinan tradisional, juga terkandung unsur-unsur mistik dan mitos. Sebelum ‘sah’ sebagai kese nian pertunjukan, topeng dalang di jadikan media komunikasi dengan roh nenek moyang, penguasa alam gaib, dan roh-roh jahat yang mengganggu kehidupan masyarakat Madura. Karena itu, topeng dalang sering digelar dalam bermacam ritual-ritual, seperti selamatan kandungan (pelet kandung), rokatan (rokat), mamapar (potong gigi), sunatan, dan perkawinan. Juga, dipergunakan ketika masyarakat sedang dilanda sesuatu yang mengkhawatirkan, seperti datangnya bencana alam ataupun hawa penyakit. Awal mula dan perkembangan topeng dalang seperti yang ditulis dalam Babad Madura pada abad 19, topeng dalang pertama kali dikembangkan pada abad ke-15 di Desa Proppo, Kerajaan Jambwaringin (kini Kabupaten Pamekasan) pada masa pemerintahan Prabu Menak Senaya. Pada abad ke-18 topeng dalang yang semula merupakan teater rakyat pinggiran, diangkat York. Seni tradisional tersebut ternyata mampu memikat, memukau, dan menimbulkan decak kagum para penonton luar negeri. Corak karakter Meskipun dalam kelahirannya selalu tak bisa lepas dari peran kerajaan Singasari dan Majapahit di Jawa Timur dan dalam perkembangannya banyak mengambil inspirasi dari kerajaan Mataram di Jawa Tengah akibat perkawinannya putri raja Madura (Bangkalan) dengan Paku Bu wono VII secara karakteristik to peng dalang Madura punya corak kekhasannya sendiri. Secara bentuk, topeng yang dikembangkan di Madura umumnya lebih kecil bentuknya daripada topeng yang ada di Jawa, Sunda, dan Bali. Ada dua jenis bentuk topeng yang digunakan di Madura, satu berukuran seluas telapak tangan dan satu lebih besar. Bentuk itu dimaksudkan untuk bisa menutupi seluruh wajah penari kecuali dagu karena gerak dagu para penari topeng dalang dapat memberikan nilai estetik tersendiri. Kecuali Semar, Pitruk, dan Garing, hampir semua topeng diukir pada bagian kepala dengan berbagai ragam hias. Para penari topeng dalang Madura sepatah pun tak boleh berdialog kecuali tokoh Semar, Pitruk, dan Garing. Yang berperan penuh dalam alur cerita, baik dalam dialog ataupun perubahan lanskap dan waktu adalah sang dalang yang biasanya berada di balik layar. Sesuai dengan sejarah, setelah runtuhnya kerajaan Majapahit dan mulai masuknya Islam ke tanah Jawa, topeng dalang Madura mengalami perubahan haluan secara akar nilainya. Jika dulu nilai yang terkandung dalam topeng dalang adalah animisme dan Hinduisme, selanjutnya diubah bagaimana dapat mengandung nilai-nilai Islam. Itu tidak lain merupakan buah usaha dari para wali songo dalam menjadikan adat dan tradisi sebagai media dakwah Islam mereka. Perubahan itu sangat tampak, misalnya dalam penceritaan. Ceri ta dalam epik Ramayana dan Mahabarata, demikian pula dalam lakon Panji dan Damar Wulan, telah dimodifi kasi sedemi kian rupa. Tokoh-tokoh dan alur cerita tetap sama, tapi isi dan muatan fi losofi snya diubah menjadi cerita yang bernuansa dan bernapaskan nilai-nilai Islam. Masih banyak lagi konversikonversi lainnya, baik dari segi regulasi pementasan, unsur tari, karawitan, maupun dalam unsurunsur lainnya yang diciptakan para wali songo. Mereka telah menyumbang banyak kekayaan dalam khazanah kesenian, yang paling tampak ialah usahanya mengawinkan tradisi animisme, Hinduisme, dengan Islam.(M-4)

Tinggalkan komentar